Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Desain Insentif Kerja Bersepeda di Kota

Oleh: Dr. Tantan Hermansah, M.Si
Senin, 23 Oktober 2023 | 06:18 WIB
Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merupakan kepala daerah yang kerap menggunakan sepeda untuk kerja. (Foto: Repro)
Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merupakan kepala daerah yang kerap menggunakan sepeda untuk kerja. (Foto: Repro)

RAJAMEDIA - Opini - Dalam satu kesempatan perjalanan melalui jalur darat, di antara suatu kota pada jam pulang kerja, di suatu kawasan berikat, saya menyaksikan di mana sebagian pekerjanya pulang menggunakan sepeda. Mereka juga terlihat berpapasan dengan karyawan lain yang juga menggunakan sepeda, yang tampaknya akan berganti shift kerja.

Tentu saja pemandangan seperti itu memberikan harapan kepada kita bahwa sebenarnya jika saja bersepeda itu dijadikan budaya pergi dan pulang kerja, niscaya beberapa persoalan terkait dengan meningkatnya polusi dan lain-lain, pada akhir-akhir ini bisa dikurangi.  

Apalagi lebih banyak dari Kawasan industri atau Kawasan Berikat berada pada wilayah yang secara geografis berkontur datar. Artinya mereka jika pun harus menggunakan moda transportasi tanpa mesin ini bisa menjalaninya dengan baik karena daerahnya yang relatif datar tersebut.

Saat ini jika kita melihat mereka yang menggunakan sepeda ke kantor atau sering disebut sebagai “bike to work” itu lebih banyak karena idealisme dan komitmen pribadi saja. Hal ini terjadi karena lembaga atau institusi penyedia dan pemberi kerja belum terlalu memberikan perhatian pada kontribusi dari perilaku ini terhadap upaya pemeliharaan dan penyelamatan lingkungan secara umum. Dalam konteks inilah maka negara bisa hadir dengan policy atau kebijakannya.

Sebelum membahas langkah-langkah, bagaimana desain kebijakan untuk memaksimalkan penggunaan moda transportasi, sebaiknya kita melihat dulu bagaimana kontribusi kendaraan bermotor pada buruknya polusi di sebagian wilayah di Indonesia.

Menurut data dari pemerintah yang baru-baru ini dikeluarkan karena beragam kehebohan di mana meningkatnya polusi di wilayah Jabotabek itu, di antara penyebab meningkatnya polusi adalah kontribusi kendaraan bermotor. Dengan fakta ini tentu pemerintah tidak akan cukup bisa mengatasi masalah tersebut jika hanya menggunakan pendekatan jangka pendek seperti menaruh water mist atau penyemprotan air.

Berangkat dari realitas dan kebutuhan itulah, maka sejatinya kebijakan yang tidak hanya memadamkan masalah itu dilaksanakan.

Adapun beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah agar kehadiran negara dalam konteks mengurangi polusi itu bisa segera dirasakan dan berdampak signifikan adalah sebagai berikut:

Pertama-tama, melakukan identifikasi dan pemetaan berkumpulnya para pekerja yang menggunakan kendaraan bermotor baik roda dua atau roda empat. Pemetaan ini, terutama di Kawasan-kawasan industri atau berikat, akan menghasilkan data subyek pembawa kendaraan bermotor mulai dari asal mereka, jarak tempuh, serta lokasi pemarkiran kendaraan. Data ini akan sangat berguna untuk mendesain model manajemen penggunaan kendaraan bermotor ke tempat kerja.

Jika pemetaan ini kemudian sudah dilakukan maka tahap berikutnya adalah melakukan setting pergi maupun pulang kerja mereka. Misalnya mereka yang jaraknya mungkin dialihmodakan, maka langsung ditetapkan menjadi subyek yang mengganti moda kendaraan bermotor menjadi sepeda. Dari sini juga bisa terlihat kebutuhan ruang untuk parkir sepeda serta jumlah durasi tempuh pelaku ketika ke tempat bekerja.

Tahap berikutnya adalah membuat kebijakan berbasis insentif bagi mereka yang tidak menggunakan kendaraan bermotor tempat kerja. Kebijakan ini misalnya diberikan kepada mereka yang menggunakan kendaraan sepeda ke kantor, maka pemerintah memberikan insentif sebesar berapa persen dari gajinya. Atau bahkan ditawarkan langsung dengan penggantian kendaraannya menjadi sepeda—tentu dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Dengan sistem kebijakan seperti ini, bisa dipastikan akan cukup menarik bagi para pekerja. Sebab insentif ini bukan berbasis voluntarisme, tetapi justru mandatori, yang menjadi bagian dari tanggung jawab sosial-lingkungan (TJSL) suatu perusahaan.
Dengan pola insentif seperti ini maka para pekerja ini pasti akan memilih tidak menggunakan kendaraan bermotornya ke tempat kerja. Pemerintah sendiri bisa mendapatkan atau mengalokasikan insentif ini merupakan bagian dari subsidi lingkungan yang harus dikeluarkan oleh pemerintah.  

Kemudian jika sudah berjalan beberapa lama, maka insentif ini bisa diambil dari disinsentif mereka tetap menggunakan kendaraan menuju tempat kerjanya. Intinya adalah bahwa mereka yang menggunakan kendaraan seperti sepeda akan mendapatkan insentif, yang mana insentif itu akan dibayar dari mereka yang menggunakan kendaraan bermotor ke tempat kerjanya.

Dari Insentif ke Budaya

Dengan kebijakan yang konsisten, maka dalam beberapa tahun ke depan, jumlah pengguna kendaraan bermotor yang “beredar” di jalanan menuju tempat-tempat bekerja bisa berkurang drastis. Sebab sistem alihmoda berkendaraan sudah berubah signifikan, dan budaya kerja yang ramah lingkungan perlahan tapi pasti terbentuk.

Apalagi jika instansi pemerintah menjadi pelopor utama transformasi budaya pergi ke tempat kerja ini, maka instansi swasta bisa mengikutinya lebih cepat.

Jika ini terjadi, maka bukan hanya kita bisa menghemat subsidi bahan bakan minyak (BBM), tetapi juga memastikan kenyamanan dan keberlanjutan lingkungan untuk anak-cucu kita di masa depan.  
 
Penulis adalah Pengajar Sosiologi Perkotaan dan Ketua Prodi S2 KPI UIN Jakartarajamedia

Komentar: