Hiburan Pelarian Anak-anak Kota
RAJAMEDIA.CO - Jakarta -SERINGKALI kita lihat di jalanan anak-anak yang berusia antara 6 sampai 12 tahun berjajar sambil memegang smartphone yang dimilikinya.
Mereka memberi kode kepada bus yang lewat agar membunyikan klaksonnya.
Memang di sisi lain telah terjadi transformasi suara klakson mobil yang dulunya cuman satu irama saja, kemudian berubah menjadi tolelot. Sampai-sampai viral dan memunculkan hashtag di Twitter #omtolelotom. Saat ini transformasi klakson kendaraan seperti bus dan truk besar dibuat jauh lebih panjang dan berirama.
Klakson yang lebih panjang dan berirama itulah yang kemudian sering direkam oleh anak-anak dan remaja itu untuk dimasukkan atau diunggah sebagai konten sosial media yang mereka miliki.
Artikel ini ingin menyoroti bagaimana transformasi perilaku anak-anak tersebut dalam konteks dinamika sosial masyarakat kota.
Seperti kita ketahui dan sadari bersama bahwa saat ini aksesibilitas pada beragam media informasi, Terutama sejak kehadiran new media atau media baru mengakibatkan siapapun melalui media internet dan smartphone bisa mengakses berbagai informasi. Termasuk diantaranya tempat-tempat yang menjadi tujuan piknik atau berwisata.
Namun di sisi lain kita juga dihadapkan pada realitas sosial bahwa tidak semua strata sosial yang ada, termasuk yang memiliki smartphone itu, memiliki kapasitas untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya agar bisa berwisata ke tempat-tempat yang mereka inginkan.
Maka salah satu bentuk pelarian dari keinginan untuk berwisata itu adalah mereka membuat konten-konten untuk mengisi ruang sosial dan media baru agar diketahui oleh publik luas, dan sambil mencoba peruntungan, siapa tahu bisa viral dan menghasilkan cuan.
Apa yang dilakukan oleh anak-anak itu adalah bentuk model pelarian sesaat. Karena memang hanya itu yang bisa mereka akses.
Namun kita bisa melihat bahwa kegembiraan kegembiraan sesaat seperti tetap jauh lebih baik ketimbang mereka melakukan peralihan dari beragam keinginan dan kegelisahan itu kepada hal-hal yang lebih jelek atau lebih buruk seperti narkoba dan sebagainya.
Lalu bagaimana lebih jauh kita membaca fenomena itu? Pelajaran pertama, tentu keinginan membuat konten kreatif anak-anak itu sejatinya difasilitasi agar mereka tidak hanya menghabiskan kuota secara spekulatif, tetapi terprogram secara sistematis.
Kedua posisi mereka nongkrong di pinggir jalan menunggu bus yang lewat sambil memberikan kode agar mereka membunyikan atau mendapatkan bunyi dan respon dari bus tersebut menunjukkan kepada kita juga para remaja ini memiliki waktu luang yang cukup banyak. Sehingga ruang itu bisa dioptimalkan untuk meningkatkan kapasitas dan pengetahuan mereka.
Selain itu, dari potensi itu juga kemudian tersedia ruang untuk dioptimalkan agar masing-masing pihak mendapatkan keuntungan.
Terakhir para remaja itu adalah harapan bangsa, karena sepuluh atau lima belas tahun lagi mereka bukan hanya penumpang pada arus dinamika sosial budaya yang ada, tetapi bisa jadi mereka adalah para pelaku utama yang mengelola dinamika dan perubahan itu sendiri.
Sehingga sikap para pihak tidak mencermati hal itu untuk berinvestasi pada kapasitas dan pengetahuan mereka, maka kesempatan membuat mereka menjadi calon pewaris masa depan itu bisa lewat begitu saja.
*Penulis: Pengajar Sosiologi Perkotaan, Ketua Prodi Magister KPI UIN Jakarta
Info Haji | 5 hari yang lalu
Ekbis | 5 hari yang lalu
Keamanan | 6 hari yang lalu
Politik | 5 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu
Keamanan | 4 hari yang lalu
Gaya Hidup | 4 hari yang lalu
Politik | 5 hari yang lalu
Politik | 4 hari yang lalu