Tegas! Muhammadiyah Desak Jokowi Cabut Pernyataan Presiden Boleh Kampanye dan Memihak
RAJAMEDIA.CO - Jakarta - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah angkat bicara terkait pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengatakan presiden boleh kampanye dan memihak.
Muhammadiyah berkesimpulan, pernyataan Jokowi itu memicu kontroversi.
Penyataan yang digaris bawahi itu yaitu pernyataan Presiden. "Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Presiden itu boleh loh kampanye, boleh lho memihak," ucap Jokowi beberapa waktu lalu kepada wartawan.
Muhammadiyah menilai pernyataan ini langsung menimbulkan kontroversi di masyarakat. Meskipun pada kesempatan yang sama, Presiden Jokowi menggarisbawahi bahwa kampanye dimaksud tidak menggunakan fasilitas negara.
Pasca kontroversi, Presiden Joko Widodo alih-alih memberikan klarifikasi, Jokowi justru menyebut bahwa ucapannya sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dengan mengutip ketentuan Pasal 299 dan Pasal 281.
"Kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masak gini enggak boleh, berpolitik enggak boleh, Boleh. Menteri juga boleh," ucap Jokowi saat itu.
Muhammadiyah menilai melihat pernyataan terakhir Presiden, terkesan bahwa apa yang presiden sampaikan adalah sebuah kebenaran yang harus didukung atau setidaknya tidak ditolak.
"Pernyataan dimaksud tidak lain merupakan upaya mencari pembenaran. Pertanyaannya, apakah pernyataan Presiden Joko Widodo ini dapat dibenarkan baik dari sudut pandang hukum maupun etika?" tulis Muhammadiyah dalam keterangan resmi yang ditandangani Trisno Raharjo sebagai ketua dan Muhammad Alfian sebagai sekretaris.
Pernyataan Lengkap Muhammadiyah
Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah menganggap penting untuk mengambil sikap atas apa yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo yang telah menimbulkan polemik ini.
Sikap ini dipandang penting mengingat Muhammadiyah memiliki peran dan tanggungjawab keummatan dankebangsaan untuk tetap menjaga nalar demokrasi yang diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa Indonesia ini agar tidak diseret sesuka hati elit politik berdasarkan keinginan dan kepentingannya masing-masing.
Sebelum sampai pada pernyataan sikap yang akan disampaikan, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah menyampaikan bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo dimaksud tidak bisa hanya dilihat dari kacamata normatif semata. Melainkan
juga harus dilihat dari optik yang lebih luas yakni dari sudut pandang filosofis, etis, dan teknis.
Pertama, dari sudut pandang normatif.
Adalah benar Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden hak melaksanakan kampanye.
Namun demikian, ketentuan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu ini tidak dapat dipandang sebagai sebuah norma yang terpisah dan tercerabut dari akar prinsip dan asas penyelenggaraan Pemilu yang di dalamnya terdapat aktivitas kampanye.
Pelaksanaan kampanye harus dipandang bukan hanya sekedar ajang memperkenalkan peserta kontestasi politik, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 267 ayat (1) UU Pemilu.
Bagaimana mungkin pendidikan politik masyarakat akan tercapai jika Presiden dan Wakil Presiden (yang aktif menjabat) kemudian mempromosikan salah satu kontestan, dengan (sangat mungkin) menegasi kontestan lainnya?
Dengan demikian, pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa Presiden dibenarkan secara hukum untuk melakukan kampanye dan berpihak merupakan statemen yang berlindung dari teks norma yang dilepaskan dari esensi kampanye dan Pemilu itu sendiri.
Kedua, dari sudut pandang filosofis.
Presiden sebagai kepala negara adalah pemimpin seluruh rakyat.
Pada dirinya ada tanggung jawab moral dan hukum dalam segala aspek kehidupan bernegara, termasuk Pemilu. Presiden berkewajiban memastikan penyelenggaraan pemilu yang berintegritas untuk memastikan penggantinya adalah sosok yang berintegritas.
Selain itu, sebuah jabatan publik (terlebih Presiden yang merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi) terikat dengan prinsip dasar yang harus dipatuhi.
Pejabat publik disumpah untuk menjabat sepenuh waktu sehingga seharusnya memang tidak ada aktivitas lain selain aktivitas yang melekat pada jabatan.
Berdasarkan hal di atas, maka secara filosofis posisi Presiden adalah pejabat publik yang terikat sumpah jabatan dan harus berdiri di atas dan untuk semua kontestan. Dengan demikian, secara filosofis, aktivitas untuk kampanye sekalipun dilakukan saat cuti adalah tidak tepat.
Ketiga, dari sudut pandang etis (dan teknis).
Sumpah jabatan penyelenggara negara, termasuk presiden, adalah setia pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Kesetiaan ini harus diwujudkan dalam segala aktivitasnya. Bahkan, meskipun Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, saat dirinya menjabat menjadi Presiden, dirinya wajib tunduk pada rakyat bukan pada partai politik pengusung.
Di luar itu, Joko Widodo, selalu akan dipersonifikasi sebagai presiden dalam aktivitas apapun. Bahkan aktivitas keseharian yang tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan sekalipun.
Oleh karenanya, penyelenggaraan pemerintahan seperti pembagian bantuan sosial akan secara langsung maupun tidak langsung “dianggap” oleh sebagian masyarakat sebagai “bantuan Jokowi”.
Faktanya, kondisi ini diperparah dengan adanya kesengajaan dari Presiden dan sebagian menterinya untuk memposisikan “bantuan sosial” ini sebagai “bantuan Jokowi”.
Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah perlu menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut semua pernyataannya yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan, terlebih soal pernyataan bahwa Presiden boleh kampanye dan boleh berpihak.
2. Meminta kepada Presiden untuk menjadi teladan yang baik dengan selalu taat hukum dan menjunjung tinggi etika dalam penyelenggaraan negara.
Presiden harus menghindarkan diri dari segala bentuk pernyataan dan tindakan yang berpotensi menjadi pemicu fragmentasi sosial, terlebih dalam penyelenggaraan Pemilu yang tensinya semakin meninggi.
3. Meminta kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk meningkatkan sensitifitasnya dalam melakukan pengawasan, terlebih terhadap dugaan digunakannya fasilitas negara (baik langsung maupun tidak langsung) untuk mendukung salah satu kontestan Pemilu.
4. Menuntut kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperkuat peran pengawasan penyelenggaraan Pemilu, utamanya terhadap dugaan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pemenangan satu kontestan tertentu.
5. Meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencatat setiap perilaku penyelenggara negara dan penyelenggara pemilu yang terindikasi ada kecurangan untuk dijadikan sebagai bahan/referensi memutus perselisihan hasil Pemilu.
Sikap ini penting dilakukan oleh MK agar putusannya kelak yang bukan sekedar mengkalkulasi suara (karena MK bukan Mahkamah Kalkulator) tetapi lebih jauh dari itu untuk memastikan penyelenggaraan Pemilu telah berlangsung dengan segala kesuciannya.
Tidak dinodai oleh pemburu kekuasaan yang menghalalkan segala cara.
6. Mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama mengawasi penyelenggaraan pemilu, penyelenggara pemilu, dan utamanya penyelenggara negara.
Pengawasan semesta ini diperlukan untuk memastikan Pemilu berlangsung secara jujur, adil, dan berintegritas agar diperoleh pimpinan yang legitimated dan berintegritas serta memastikan tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas negara oleh penyelenggara negara.
Hukum | 6 hari yang lalu
Opini | 6 hari yang lalu
Gaya Hidup | 5 hari yang lalu
Hukum | 5 hari yang lalu
Hukum | 5 hari yang lalu
Parlemen | 6 hari yang lalu
Hukum | 4 hari yang lalu
Politik | 4 hari yang lalu
Ekbis | 5 hari yang lalu