Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Perbedaan Pembangunan di Daerah Sumsel, Sumbar, dan Sumut

Oleh: Syahrul E. Dasopang
Minggu, 13 Juli 2025 | 16:17 WIB
Ilustrasi pembangunan - istimewa -
Ilustrasi pembangunan - istimewa -

RAJAMEDIA.CO - Dari sepanjang jalan di Sumatera Selatan (Sumsel), kita akan melewati aneka kabupaten dan kotamadya. Tampak pembangunan fisik berkembang dari masa ke masa. Lubuk Linggau misalnya, tampak memanjang dan memadat toko-toko. 

 

Menandakan ramainya konsumsi dan produksi di daerah tersebut. Demikian juga dengan Musirawas dan seterusnya.

Namun jika Anda melewati Solok, Bukittinggi, Natal, dan seterusnya menuju Mandailing Natal (Madina). Tampak jelas pembangunan lebih maju di bagian daerah Sumatera Selatan.

 

Ada yang menyebut di antara penyebab perbedaan kemakmuran dilihat secara sepintas berdasarkan pembangunan fisik ini, terkait dengan tidak mudahnya transaksi kepemilikan lahan dengan daerah Sumatera Barat. Sebab di Sumatera Barat (Sumbar), bila pemodal besar memghendaki lahan guna dikonversi menjadi pusat ekonomi, maka tidak bisa sekedar kongkolikong dengan pemerintah daerah maupun dengan pejabat BPN setempat.

 

Sebab di Sumatera Barat hukum adat tanah pusaka memiliki andil dalam pertimbangan negosiasi alih kepemilikan. Sebenarnya hal ini justru baik dan tepat untuk masa depan daerah dan penduduk di wilayah tersebut.

 

Kita melihat misalnya, Indomaret dan Alfamart pun tidak ada di Solok, Bukittinggi dan mungkin di beberapa kabupaten dan kotamadya di Samatera Barat. Pertanda betapa kuatnya kesadaran protektif penduduk dan pemerintahan di sumatera barat akan kesinambungan kedaulatan mereka dari agresivitas modal dari bukan anak nagari.

 

Tetapi bagaimana dengan Sumatera Utara (Sumut)? Di wilayah ini, kondisi kapaitalisme tidak jauh berbeda dengan Sumatera Selatan. Semua boleh masuk, darimana pun Anda, selama Anda memberi keuntungan pada para pihak yang terlibat transaksi. Tentu saja bagi pejabat setempat.

 

Di Sumatera Utara, ada adagium dari kepanjangan SUMUT, yaitu semua urusan mesti uang tunai. Jadi jangan heran jika ada auditor bekerja dengan ketat dan tanpa kompromi, saya dapat duga tidak ada kabupaten/kota yang mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualiaan (WTP).

 

Jalan raya dari Sidempuan yang melewati Kabupaten Tapanuli Selatan sampai ujung Kabupaten Padang Lawas Utara, banyak gelombang dan lobang-lobang. Pertanda ada masalah ketidakpedulian pejabat-pejabat setempat dengan keselamatan warganya dan para pelintas di daerah mereka.

 

Toko-toko juga tidak teratur dengan baik seperti di Lubuk Linggau menandakan semrawutnya urusan di daerah ini. Sepertinya, setiap pihak memamerkan dominasi dan kemegahannya.

 

Era otonomi daerah yang sejatinya dimaksudkan untuk menumbuhkan kemakmuran pada setiap penduduk di Kabupaten Madina, Kabupaten Tapsel dan Padang Lawas Utara misalnya, justru tampaknya kemiskinan dan kesenjangan kesejahteraan terlihat dengan nyata melalui rumah-rumah penduduknya yang sebagian masih jauh dari layak. Apalagi di Madina, pertambangan rakyat cukup mencolok di tepi-tepi sungai sehingga sangat rentan secara risiko lingkungan maupun sosial.

 

Di Sumatera Utara, watak sosialnya memang saya paham mengingat saya berasal dari daerah ini. Seorang pejabat pada umumnya merasa berhak dilayani ketimbang melayani. Feodalisme birokratis terasa sangat tebal. Jika seseorang menjadi pejabat atau jadi orang terpandang, hal itu dianggap sebagai pencapaian sosial yang menuntut harga untuk dipamerkan dan dikonversi sebagai simbol kekuasaan untuk previledge dan keangkuhan sosial.

 

Bahkan untuk mengirimkan anak ke sekolah-sekolah dinas seperti Akpol, Akmil, STPDN, dan sejenisnya, orang Sumut berani bayar tinggi, bahkan bila perlu lelang kebun dan sawah. Ada kebanggaan dan pertaruhan hidup keluarga yang diperjudikan.

Inilah yang membuat suburnya korupsi di Sumatera Utara. Jadi saya tidak heran ada pejabat yang dikatrol sedemikian rupa dan akhirnya menjadi makanan kejaksaan. Saling makan dan mangsa juga biasa di Sumut.

 

Rasanya jika membahas Sumut dengan karakteristiknya, tidak cukup “martarombo” (bertutur susur galur) satu hari satu malam. Ini semua sisa-sisa alam kolonialisme, feodalisme dan kemudian militerisme Orba yang begitu kuat menjangkiti kebudayaan penduduk Sumatera Utara.

 

Sumatera Utara yang di masa penjajahan merupakan Sumatera Timur. Pembaca harus tahu, Sumatera Timur merupakan lumbung kapital dari kolonialisme Belanda yang terpenting. Mulai dari perkebunan tembakau di Deli yang termasyhur itu kemudian melahirkan kota Medan, perkebunan sawit, karet hingga kopi. Anda ingat bukan kopi sidikalang dan kopi mandailing, itu adalah riwayat kolonialisme dan kapitalisme yang berakar kuat di Sumatera Utara.

 

Ciri dari masyarakan non demokratis, kapitalistik, kolonialistik dan di kemudian hari menjadi militeristik yaitu merayakan hirarki dan dominasi. Hirarki dan dominasi ini basisnya adalah seberapa banyak kapital dan kuasa-pengaruh yang Anda miliki, itulah rumus hidup di Sumatera Utara.

 

Agama dengan perkembangan pondok-pondok pesantren hingga ormas keagamaannya seperti HKBP dan Alwashliyah-nya, tak berkutik dengan rumus hidup jahiliyah yang sudah mengakar itu. Anda kaget, merupakan suatu gaya yang memberi kebanggaan di Sumut, jika Anda menyelenggarakan pesta pernikahan, dengan memanjangnya karangan bunga hingga satu kilometer. 

 

Apalagi jika putera atau puteri yang Anda nikahkan itu tamatan akademi atau sekolah kedinasan. Itulah Sumatera Utara yang subur dengan bibit-bibit korupsi.


Syahrul E. Dasopang, pengamat sosial


Disclaimer:
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis. Segala isi, pandangan, dan pendapat yang disampaikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan sikap redaksi. Redaksi tidak bertanggung jawab atas segala akibat yang ditimbulkan dari tulisan ini.rajamedia

Komentar: