Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Miskin Bermartabat

Oleh: Dahlan Iskan
Selasa, 25 Februari 2025 | 05:58 WIB
Disway: Miskin Bermartabat
Disway: Miskin Bermartabat

RAJAMEDIA.CO - Disway - Gunung terakhir kami lewati. Sepanjang jalan tidak ada yang berlubang. Kemulusan aspalnya setara dengan jalan aspal non tol di Indonesia. Hanya sebagian aspalnya bergelombang, terlalu banyak truk gandeng kelebihan muatan.

 

Terlihatlah Negash. Tidak bisa lagi disebut kota. Juga bukan kota kecil. Bukan kota kecamatan. Ini desa. Desa miskin.

 

Itu sangat jauh dari bayangan saya. Yakni bayangan yang dibentuk buku pelajaran tarikh Islam. Ustman bin Affan, orang Islam terkaya di Makkah saat itu, sampai ke Negash. Atas perintah Nabi Muhammad. Agar terhindar dari tekanan dan ancaman kaum Quraisy. Utsman sendiri kelak, jadi salah satu dari empat khalifah (pemimpin) utama pengganti Nabi Muhammad.

 

Rumah-rumah penduduk di desa Negash hanya dua jenis: jelek dan jelek sekali. Tentu di Jakarta ada juga kawasan yang rumah mereka hanya dua jenis. Bahkan kontras dengan sekitarnya.


Rumah-rumah di Negash, Ethiopia--

 

Kalau Anda naik kereta termodern Whoosh ke Bandung, lalu pindah ke kereta supporting-nya, Anda saksikan saja rumah-rumah di sepanjang rel itu: seperti apa. Atau rumah-rumah di sepanjang sungai di Kaltim dan Kalsel. Seperti apa.

 

Di Negash tidak ada paradoks. Miskin semua. Paradoksnya hanya satu: dengan komplek makam sahabat Nabi yang ada di desa itu. Sahabat dan keturunannya.

 

Mereka yang sudah lama meninggal itu punya rumah sangat bagus. Rupanya ada orang kaya Ethiopia yang membangunnya. Sekaligus membangun kembali masjid di depannya.


--

 

Mobil kami pun keluar dari jalan beraspal. Masuk ke kompleks ini. Menikung naik ke kiri. Menanjak sedikit. Belum beraspal. Jalan tanah. Kanan kirinya rumah penduduk miskin.

 

Sekitar 150 meter dari belokan itulah terlihat sebuah masjid. Satu lantai. Pakai kubah berbentuk bawang. Bangunannya baik, tapi sederhana. Ukurannya sekitar 16 x 16 meter.

 

Terkunci. Belum saatnya waktu salat. Juga masih tiga jam lagi salat Jumat.

 

Di halaman masjid itu ada bangunan tempat wudu --membasuh muka sebelum salat. Pakai kran di empat sudutnya.

 

Halaman masjid ini berupa tanah kering. Cukup luas. Sedikit lebih luas dari masjidnya. Di sebelah tempat wudu itu ada gerbang. Itulah gerbang menuju makam.

 

Kompleks makam ini tertata rapi. Ada tamannya. Di kanan kiri. Terasa lebih rapi dari masjidnya. Dari gerbang itu pula ada jalan beton selebar tiga meter. Kanan kirinya prasasti. Berjejer. Satu nama satu prasasti. Sesuai dengan nama tokoh yang dimakamkan di situ. Ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Ethiopia.


--

 

Di belakang jajaran prasasti itu pepohonan dan semak. Tanaman utamanya kaktus. Tinggi-tinggi, meski tidak setinggi kaktus di Arizona, Amerika.

 

Di depan sana, di ujung koridor ini, terlihat bangunan berkubah juga. Lebih tinggi dari kubah masjid. Di halaman bangunan berkubah inilah terdapat beberapa makam ”VIP”: keturunan inti muhajirin awal.

 

Saya pun masuk ke bangunan berkubah. Lima orang bersorban mengiringi saya. Salah satunya adalah kiai di masjid Negash, sekaligus penanggung jawab makam. Umurnya sudah 82 tahun. Salah satu putranya menjadi pemandu wisata lokal di situ.


--

 

Gus pemandu ini memberi banyak penjelasan. Sama persis dengan yang ada di internet.

 

Perusuh seperti Agus Suryo pasti sudah menyiapkan komentar siapa yang dimakamkan di gedung berkubah itu. Juga siapa saja yang namanya ditulis di semua prasasti itu. Saya tidak perlu mendahuluinya.

 

Yang Suryo pasti tidak bisa menulis  adalah: bagaimana bentuk dan keadaan nisan di makam utama itu.

 

Saya juga tidak bisa menuliskannya.

 

Nisan itu sedang ditutup terpal. Di sekujur nisannya yang panjaaaaang sekali. Sekitar tiga kali lipat lebih panjang dari nisan sultan Raden Patah di samping masjid Agung Demak.

 

Di dalam bangunan itu juga penuh dengan andang --scaffolding. Beberapa orang bekerja di atas andang itu. Bersih-bersih. Mengecat.

 

Kiai sepuh itu pun memimpin doa. Pendek. Sambil berdiri. Tidak ada kekhusukan seperti di makam Gus Dur di Tebuireng, Jombang.

 

Keluar dari makam lebih banyak lagi yang mengerubung. Juga para wanita. Anak-anak.

 

Lalu saya lihat dua lelaki perlente masuk ke makam. Gagah. Berjas. Berdasi. Wajahnya seperti keturunan Arab.

 

"Assalamu alaikum," sapanya. "Kami dari Toronto".

 

"Kanada?”

 

"Yes".

 

Kami pun ngobrol sambil berdiri. Tidak ada tempat duduk. Tidak ada gasebo. Tidak ada tempat berteduh.

 

"Kami lahir di desa ini. Besar di Addis Ababa. Sekarang tinggal di Toronto".

 

"Sering ke sini?"

 

"Sering. Sesekali".

 

Jelaslah mereka masih keturunan yang dimakamkan di situ. Obrolan selesai.

Lapar.

 

Saya pun minta dibawa ke warung terbaik. Ini soal kesehatan benda yang akan masuk ke perut.

 

Maka saya dibawa ke warung itu. Lihat foto depannya. Saya ditawari makanan lokal tapi tidak mengerti. Juga tidak mau berjudi. Saya pilih saja roti epek. Roti gapit. Telur dadar (putihnya saja) dijepit di dua belahan roti.

 

Si Gus Pemandu menolak untuk ikut makan. Lalu setengah saya paksa. Tetap menolak. Ia lulusan D2 bahasa Inggris di kota kecil dekat desanya.

 

"Puasa?"

 

"Tidak".

 

"Pesanlah makanan apa saja yang Anda suka".

 

"Tidak".

 

Miskin tapi bermartabat. Cocok dengan motto saya dulu. Anda tentu masih ingat apa lanjutan motto 

 

"Miskin Bermartabat" itu --yang pernah saya kampanyekan dulu.

 

Yang disajikan beda dengan yang saya maksud. Telurnya masih pakai kuningnya.

 

"Tolong sampaikan, yang saya inginkan tidak seperti ini. Jangan pakai kuning telur," pinta saya kepada si Gus.

 

Pesanan pun datang. Benar. Maka saya sodorkan roti epek yang ada kuning telurnya tadi ke Gus 

 

Pemandu. Ia mau makan. Lebih cepat habis dari saya.

 

Kami banyak berbincang soal perang di Tigray. Sesekali pembicaraan berhenti. Kami terdiam. Lama. Sopir yang mengantar saya dari Makelle menyerahkan layar HP-nya. Merek Samsung. Saya baca pesan di layar hp itu.

 

"Kita jangan bicara perang. Yang baru masuk itu tentara," tulisnya.

 

Saya pun melirik tamu yang lagi makan sayur mentah campur saus dan roti. Makannya cepat. Lalu pergi. Kami mulai lagi bicara soal perang.

 

"Saya pernah sembunyi di bunker di bawah masjid. Hampir tanpa makan dan minum. Dua hari," ujar Gus Pamandu.

 

Bunker itu cukup untuk 50 orang. Berdesakan. Tapi tetap saja tidak aman. Tentara masuk ke bunker. Memeriksa mereka. Ketakutan. Tidak ditemukan senjata. Mereka dibebaskan.

 

Ganti tentara yang menguasai bunker itu. Lengkap dengan persediaan smerekanya.

 

Desa Negash kini berpenduduk sekitar 2.000 orang. Penduduk muslimnya tinggal paling banyak 200 orang. Saat salat Jumat, masjid itu penuh.

 

"Sekitar 50 orang yang jumatan " ujar Gus pemandu.

 

Saya pilih kembali ke Makelle. Jumatan di kota itu. Waktu saya harus dihemat. Dalam perjalanan kembali ke Makelle saya minta izin ke sopir: tidak lagi duduk di depan. Kursinya terlalu tegak. Tidak bisa disandarkan. Sedikit saja sekali pun.

 

Saya pun menggeletakkan badan di kursi tengah. Tas merah sebagai bantalnya.rajamedia

Komentar:
BERITA LAINNYA
Dahlan Iskan di depan Ethiopian Airlines.--
Hijrah Tigray
Senin, 24 Februari 2025
Disway: Solek Cleopatra
Solek Cleopatra
Sabtu, 22 Februari 2025
Foto: Disway
Sesal Kabur
Jumat, 21 Februari 2025
Dahlan Iskan umroh bersama istri Nafsiah Sabri (dua dari kanan) serta rombongan Inul Daratista (paling kanan).- Disway-
Juara Inul
Kamis, 20 Februari 2025
Disway: Madinah Kabur
Madinah Kabur
Rabu, 19 Februari 2025
--
Kerambol Madinah
Selasa, 18 Februari 2025