Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Legilator PKS: Pernyataan Pendidikan Tinggi Bukan Wajib Belajar, Semborono!

Laporan: Tim Redaksi
Minggu, 19 Mei 2024 | 00:29 WIB
Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah. (Foto. Dok DPR)
Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah. (Foto. Dok DPR)

RAJAMEDIA,CO - Pendidikan, Jakarta - Ungkapan pejabat negara Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Tjitjik Sri Tjahjandariesoal yang enyebut pendidikan tinggi adalah tertiary education, alias bukan wajib belajar yang merupakan prioritas bagi Pemerintah sebagai ungkapan yang sembrono, tidak solutif, dan tidak nyambung.

Pernyataan itu disampaikan Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah menyikapi keluhan dan penolakan atas kenaikan biaya UKT di berbagai kampus negeri. Namun, diswayangkan tanggapan Pemerintah justru terkesan berlepas tangan.

"Masyarakat terutama orangtua dan mahasiswa sedang mengeluhkan biaya UKT yang naik berkali-kali lipat jadi mahal. Tidak terjangkau bagi banyak keluarga, sampai sudah ada korban drop out. Tapi pemerintah malah berkelit kalau kuliah itu tertiary education, pilihan pribadi untuk lanjut ke jenjang lebih tinggi, bukan prioritas pemerintah," ujarnya.

"Reaksi ini menurut saya sangat sembrono, tidak solutif dan ibarat Jaka Sembung naik ojek, gak nyambung, Jek,” tegas Ledia dalam keterangannya, Sabtu (18/5)

Reaksi pemerintah tersebut, kata Ledia, jadi memunculkan kekhawatiran bahwa karena pendidikan tinggi bukan wajib belajar dan bukan prioritas pemerintah, maka terserah saja mau naik berapa UKT-nya.

"Seolah-olah terserah saja mau semahal apa, terserah mahasiswa sanggup lanjut kuliah atau drop out, karena semua itu adalah pilihan,” ujarnya.

Politisi PKS ini mengingatkan, reaksi pemerintah menanggapi mahalnya kenaikan UKT dengan mengingatkan soal tertiary education itu, menjadi tidak nyambung karena status PTN itu jelas Perguruan Tinggi Negeri yang berada di bawah naungan negara.

Sehingga, negara harus siap dan harus mau, mengawasi implementasi regulasi penentuan nilai harga satuan biaya operasional pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

“Sudah seharusnya penentuan nilai harga satuan biaya operasional pendidikan dikontrol oleh pemerintah. Kalau tidak dikontrol dan diawasi, maka akses pendidikan tinggi di Indonesia semakin sulit dijangkau, khususnya bagi masyarakat yang memiliki status ekonomi menengah ke bawah," ujarnya.

"kalau begitu, cita-cita mendulang Generasi Emas 2045 pun bisa hanya tinggal mimpi," tegas legislator asal dapil Jawa barat I ini pula.

Ledia kembali mengingatkan bahwa Perguruan Tinggi Negeri merupakan investasi negara terhadap tumbuh kembang masa depan generasi bangsa, bukan bisnis negara.

Karenanya negara harus hadir dalam memberikan kemudahan akses pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, bukan untuk sekadar memenuhi kebutuhan pasar.

"Untuk mendapat manfaat bonus demografi dan memanen SDM unggul Indonesia Emas 2045, maka prioritas kita tentulah bagaimana generasi muda mendapatkan pendidikan dengan kualitas terbaik, dengan pelayanan terbaik, dan dengan alokasi yang terbaik,” ujarnya.

Alumnus Master Psikologi Terapan Universitas Indonesia itu lebih lanjut mengatakan, terdapat dua hal harus terjadi secara simultan.

Pertama, negara harus hadir lewat regulasi yang membantu PTN agar bisa mendiri sekaligus mendorong terbukanya akses pendidikan.

Kedua, Perguruan Tinggi juga harus mampu memberdayakan badan usaha agar beban operasional pendidikan tinggi tidak sepenuhnya ditanggung oleh mahasiswa.rajamedia

Komentar: