Genangan dan Keberlanjutan Jalanan
Raja Media (RM), Opini - Kenangan kecil saya masih kuat memvisualisasikan gambaran jalan-jalan yang biasa kami gunakan.
Kata nenek saya, jalanan ini dibangun sejak zaman Penjajahan Belanda. Di mana jalan-jalan yang membelah Kampung dan sebagian kawasan lådäng, sawah dan perkebunan yang tadinya dikuasai oleh Belanda itu terdiri dari batuan yang di atasnya dilapisi aspal yang kemudian dibentuk mengikuti model punggung kura-kura atau nonggong kuya .
Model ini tergambarkan di mana pada setiap sisi kiri dan kanan jauh lebih rendah ketimbang bagian tengahnya.
Belanda yang menjajah bangsa ini dulu pasti sudah mengkalkulasi dengan sangat baik agar maintenance setiap infrastruktur transportasi untuk mengangkut hasil bumi dan perkebunan akan dibawa ke negara mereka itu harus efisien dan menguntungkan. Salah satunya adalah biaya pemeliharaan dan perawatan sarana transportasi seperti jalan ini.
Jalan yang dibangun dengan model seperti punggung kura-kura itu dalam jangka panjang ternyata sangat berguna. Mungkin Belanda juga sudah memperhitungkan keadaan cuaca ekstrem yang menghasilkan curah hujan yang kadang-kadang sangat tinggi, tetapi pada hari atau minggu yang sama juga sangat kering. Tentu hal ini kemudian sangat berpengaruh kepada daya tahan aspal jalanan. Di mana jalanan yang terdampak cuaca ekstrim pasti cepat rusak jika tidak mendapatkan perlakuan “khusus”.
Sehingga dengan pemilihan teknis superti ini dalam pembangunan infrastruktur jalan, kita bisa melihat jalan yang dibangun berumur jauh lebih lama. Salah satunya yang kasat mata adalah, jalanan itu tidak menghasilkan genångan air. Seperti kita ketahui, genangan kecil itulah yang kemudian banyak menghancurkan jalanan kita—jika tidak segera ditambali—yang kemudian akhirnya merusak jalan itu sendiri.
Bagaimana teknis dan filosofi pembangunan jalan di era sekarang? Jika kita melihatnya dari apa yang tampåk, yang kelihatan di depan mata adalah bahwa kebanyakan model dan struktur jalan yang dibangun pada masa sekarang adalah rata. Atau minimal terlihat rata. Dalam hal ini bisa dibuktikan ketika ada air yang menggenang di tengah tidak kemudian mengalir ke pinggir. Memilih jalan model rata, memang dari sisi visual terlihat begitu bagus dan cantik.
Namun di sini pula masalahnya.
Struktur jalanan yang kebanyakan rata bisa menampung air—meski bisa jadi awalnya sedikit. Genangan-genangan kecil itu justru yang kemudian membuat aspal jalanan cepat rusak, entah terkelupas atau yang lainnya. Apalagi selain cuaca ekstrim, kadang hujan kita juga mengandung asam. Sehingga dengan pendekatan atau metode dibuat lebih miring, meski tidak terlalu ekstrem, sebenarnya air bisa tetap mengalir ke pinggir.
Contoh konkret adalah jalan yang dekat dengan tempat saya tinggal. Beberapa bolongan yang tadinya kecil itu, telah menjerat air yang melahirkan genangan. Dari genangan itu kemudian menghasilkan lubang menganga dan cukup lebar. Kemudian sebagian oleh warga menimbunnya dengan puing-puing rumah atau barangkal.
Terlihat cukup solutif meskipun tidak rata, karena mereka tidak menggunakan tendem roller atau stemper sebagai penumbuk jalanan. Sehingga tambalan itu menghasilkan goncangan bagi kendaraan yang melintasinya. Tidak lama kemudian pemerintah akhirnya menambali jalanan tersebut dengan pendekatan rata sisi kanan-tengah-kirinya.
Miming dalam satu bulan jalanan terasa demikian enak. Namun karena di daerah tempat tinggal saya ini dikenal sebagai daerah yang disebut “Kota Hujan”, tidak butuh waktu lama muncul lubang-lubang kecil yang akhirnya menghasilkan genangan. Kemudian tidak sampai satu bulan ini, jalanan sudah kembali mulai “tidak rata” dengan kemunculkan genangan yang kemudian semakin membesar.
Sebagai publik, kita memiliki sejumlah pertanyaan mengapa tidak mengadopsi model jalanan zaman Belanda dulu yang secara teknis juga bisa diaplikasikan? Dengan metode mereka yang sudah teruji akan mengurangi kecepatan rusaknya jalanan, karena bisa meminimalisasi genangan air.
Genangan air memang bukan satu-satunya masalah di banyak jalanan di Indonesia. Masalah mengapa jalanan kita cepat rusak juga, yang tampak terlihat kasat mata adalah menghilangnya gorong-gorong atau selokan di pinggir jalan.
Untuk memastikan adanya gorong-gorong ini, negara sepertinya cukup kewalahan. Banyak masyarakat tidak memilih mengadakan saluran drainase tersebut bahkan tidak sedikit yang menimbunnya sehingga tidak ada rang untuk air mengalir. Alhasil, jalanan pun kemudian cepat rusak, dan hampir setiap tahun kemudian pemerintah menambalinya.
Negara Hadir untuk Genangan
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan jalan di negara kita, sudah menjadi keharusan bahwa respons negara dalam regulasinya pada persoalan genangan dan segala yang berkaitan dengan hal ini diperkuat.
Memang sudah ada beberapa regulasi yang terkait dengan pemeliharaan jalan dan drainase ini. Namun tampaknya masih perlu penguatan pada aspek pengawasan dan penegakan hukum agar apa yang terjadi dan ada di jalanan tersebut bisa dipastikan keberlanjutannya.
Sebab jika ini tidak bisa diatasi secara terukur dan sistematis, maka genangan-genangan kecil itu lama-lama bisa menjadi “musibah” besar yang merembet ke persoalan tata kelola peradaban berbasis jalanan.
*Penulis: Pengajar Sosiologi Perkotaan, Ketua Prodi Magister KPI UIN Jakarta
Info Haji 4 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu
Parlemen | 6 hari yang lalu
Nasional | 6 hari yang lalu
Nasional | 5 hari yang lalu
Hukum | 4 hari yang lalu
Opini | 3 hari yang lalu
Opini | 4 hari yang lalu
Politik | 6 hari yang lalu
Nasional | 6 hari yang lalu