Politik

Info Haji

Parlemen

Hukum

Ekbis

Nasional

Peristiwa

Galeri

Otomotif

Olahraga

Opini

Daerah

Dunia

Keamanan

Pendidikan

Kesehatan

Gaya Hidup

Calon Dewan

Indeks

Syahadah dan Kompetensi Guru Madrasah

Oleh: Prof. Dr. Fauzan M.A
Senin, 23 September 2024 | 15:18 WIB
Foto: Madrasah Ibtidaiyah (MI) Pembangunan
Foto: Madrasah Ibtidaiyah (MI) Pembangunan

RAJAMEDIA.CO - Opini Pendidikan - SYAHADAH merupakan istilah dalam kegiatan pelatihan standarisasi Metode Tilawati. Syahadah sendiri dapat berarti kesaksian atau pembuktian bahwa seseorang sudah memastikan dirinya memiliki kapasitas melakukan pembimbingan dan pengajaran tilawat al-Quran kepada peserta didik, terutama pada lembaga yang mendiklair sebagai pendidikan madrasah atau sekolah Islam.

 

Walaupun secara numenklatur baik madrasah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah) atau sekolah (Dasar, Menengah Pertama, Menengah Atas) sebenarnya memiliki makna sama, yakni lembaga pendidikan formal yang berfungsi melaksanakan kegiatan pembelajaran untuk menjamin tercapainya sejumlah kompetensi sebagaimana yang diamanahkan undang-undang.


Selain kompetensi minimal yang disiapkan sekolah dalam kebijakan kurikulum, bagi sebagian masyarakat Indonesia, madrasah/sekolah Islam dapat memberikan kompetensi tambahan lain, terutama pada aspek penguatan literasi keagamaan yang dapat membentuk peserta didik yang taat beragama, disiplin dalam beribadah, serta memiliki kemampuan membaca al-Quran yang baik.


Kurikulum madrasah/sekolah Islam harus tampil sebagai lembaga pendidikan yang mampu mengakomodir tuntutan kemajuan zaman dengan keunggulan literasi numerasi, sains, dan teknologi, tetapi keberadaannya juga dapat menjamin lulusan dengan literasi keagamaan yang baik.


Sebuah kemampuan pemahaman teori dan praktik ajaran agama yang teraplikasi dalam sebuah perilaku dan tindakan nyata dalam kehidupan.


Literasi agama mengarah pada pembentukan kemampuan seseorang dalam menjalankan kewajiban agama secara benar sesuai ajaran agamanya dan mengamalkannya dalam lini kehidupan.


Beberapa indikator yang dapat diukur dan dilihat dari literasi agama di Madrasah/Sekolah Islam antara lain: pemahaman dan praktik berwudu, ketaatan dan kedisiplinan dalam menjalankan ibadah shalat wajib, shalat sunah, serta kemampuannya dalam membaca al-Quran.


Untuk menjamin tercapainya literasi agama secara baik tentu harus ditopang oleh komponen penting, yaitu: Pertama, kemampuan pemahaman keagamaan Islam yang tidak hanya terbatas pada guru mata pelajaran Pendidikan Agama (PAI), tetapi pemahaman utuh dari semua pendidik tentang literasi agama.


Guru mapel sains, IPS, Matematika memiliki kewajiban mendidik dan mentransformasi pengetahuan secara profesional, tetapi dalam soal pengawalan praktik keagamaan, guru mapel umum juga harus menunjukkan perilaku keagamaan yang baik, piawei dalam membimbing praktik keagaamaan peserta didik secara baik.


Kedua, habituasi atau kebiasaan praktik keagamaan yang dilakukan secara kontinue, berjenjang dan terprogram.

 

Ketiga, dukungan sarana prasarana pendidikan yang memadai. Literasi agama tidak sekedar “hapalan konsep”, tetapi harus lebih menitikberatkan pada upaya pembentukan nilai karakter yang permanen dan diamalkan dalam kehidupan.


Kompetensi Tambahan Guru di Madrasah/Sekolah Islam


Bagi penulis sendiri rasanya ironis ketika ada alumni Madrasah/Sekolah Islam yang tidak bisa membaca al-Quran secara baik, tidak bisa berwudu secara benar, terlebih tidak bisa atau sering lupa shalat.


Madrasah/Sekolah Islam harus tampil sebagai lembaga pendidikan yang dapat menjamin peserta didik memiliki kecakapan holistik, baik pada aspek wawasan pengetahuan, keterampilan, serta dapat mengakomodir tuntutan kompetensi abad millenial dengan ciri, yakni: subyek pembelajar yang kritis (Critical thinking), menunjukkan kreatifitas tingkat tinggi (Creativity and innovation), kemampuan berkomunikasi secara lugas dan humble (Communication), kemampuan dalam berinteraksi dan membangun jejaring secara global (Collaboration), serta menunjukkan personaliti yang berakhlak al-karimah (Character).


Implementasi kebijakan kurikulum terpadu, antara Kementerian Agama dengan fokus kajian agama Islam (religious sciences), dan Kementerian Pendidikan dengan dominasi ilmu pengetahuan umum (humaniora, natural and social sciences) harus dipahami oleh civitas akademiksnya sebagai sebuah distingsi dan keunikan lain dari penyelenggaraan pendidikan madrasah/Islam.


Oleh karenanya, berbagai tuntutan kompetensi tagihan tersebut perlu didesain secara sistematis, baik pada aspek pengelolaan, input, proses, hingga komponen luaran (outcome) yang terukur. Sehingga jawaban dari semua tuntutan tagihan kompetensi bisa dilihat selama proses pembelajaran dan terlihat dari penerimaan positif stakeholder eksternal (baca: masyarakat global, dunia industri).


Untuk tidak menafikan komponen yang lain dalam pendidikan, kesiapan pendidik dan peserta didik yang menjadi kunci utama kegiatan pembelajaran. Beberapa pernyataan sederhana untuk direnungkan. Kreatifitas peserta didik akan sangat bergantung pada inisiasi inovasi pembelajaran yang dilakukan pendidik. Pembelajaran efektif dan menyenangkan (meaningfull learning) hanya mungkin dilakukan ketika ada kesiapan pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran. (Fauzan, 2024).


Dalam perundangan yang berlaku, guru sebagai pendidik profesional diharapkan memiliki kompetensi minimal yang melekat, meliputi aspek penguasaan materi (bahan ajar), kemampuan teaching skill (how to learn), menunjukkan kepribadian santun, bertanggungjawab, serta dapat bersosialisasi dengan anggota masyarakat yang lain.


Kemampuan yang mungkin dapat diperoleh melalui pendidikan Sarjana (S1), setelah minimal 144 sks diperoleh. Sesuai linearitas bidang keilmuannya, seorang yang menjadi guru tentu harus fokus pada bidang ilmu yang dipelajari, tidak boleh “nyebrang” pada bidang ilmu lain yang minim kompetensi.


Secara aturan minimal, guru bidang mapel tertentu harus fokus pada mapel yang diajarkannya, fokus pada kajian keilmuan yang memang dikuasai. Tetapi seiring dengan tuntutan kebutuhan zaman, keunikan, distingsi dan tuntutan abad millenial seorang pendidik profesional harus terus mengupdate dirinya dengan berbagai kompetensi “tambahan”, seperti kemampuan publik speaking, kemampuan memanfaatkan media pembelajaran digital, kemampuan menulis dan membaca al-Quran, serta kemampuan lain yang mengokohkan dirinya sebagai guru hebat.  


Pelampauan terhadap standar minimal yang berlaku dapat membawa mutu pendidikan semakin membaik. Menguatkan diri dengan kompetensi tambahan yang dibutuhkan adalah hal positif dan menunjukkan diri sebagai pembelajar sejati. Bagi program studi di Perguruan Tinggi (PT), penyiapan kegiatan yang dapat memperkaya kompetensi tambahan profil lulusan menjadi penting untuk terus dilakukan.


Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan Madrasah/Sekolah Islam, selain empat kompetensi minimal yang pasti melekat pada seorang guru, kompetensi lain yang juga menjadi penting adalah literasi agama dan literasi digital.

 

Pemahaman terhadap teknologi digital dan penerapannya dalam kegiatan pembelajaran sudah menjadi kebutuhan pendidik dan peserta didik. Penggunaan sumber bahan ajar digital dan penggunaan media digital harus menjadi patner penting dalam pembelajaran.


Sementara pada aspek yang lain, kemampuan memahami teori  dan praktik keagamaan Islam juga menjadi penting. Kemampuan tersebut hanya dapat diterapkan ketika proses pembimbingan dilakukan secara simultan oleh semua guru. Praktik membaca al-Quran secara baik berdasarkan ilmu tajwid, kesesuaian dengan makharilj al-khuruf, tentu harus menjadi kegiatan pembimbingan yang dilakukan secara berulang.


Sebagai kemampuan tambahan, seorang pembimbing al-Quran harus menunjukkan kapabilitasnya sebagai pengajar yang baik, paham terhadap ketentuan yang ada, serta memiliki lisensi pengakuan untuk melakukan kegiatan pembimbingan al-Quran. Dalam Metode Tilawati disebut dengan “Syahadah”.


Ada tahapan panjang yang harus dilalui untuk memperoleh pengakuan tersebut, dari pengecekan teori dan pemahaman ilmu tajwid, makharijul khuruf, paham tentang cara bacaan ghorib musykilat (bacaan aneh yang keluar dari hukum tajwid), penggunaan nada, hingga tes praktik pembelajaran (mikro teaching). Bagi seorang yang telah memperoleh syahadah dapat diperkenankan melakukan pembimbingan membaca al-Quran (tilawati) kepada orang lain.


Pendidikan terbaik adalah kegiatan pembelajaran yang mampu menjamin tercapainya tujuan pembelajaran secara holistik (ilmu, amal, akhlak al-karimah), dengan mengadaptasi berbagai pendekatan pembelajaran modern dan tradisional yang menyenangkan.


Teknologi Digital harus dipahami sebagai alat pendukung pembelajaran yang dapat mempercepat capaian kompetensi. Peran guru dalam pembelajaran adalah kunci utama, keberadaannya tidak boleh tergantikan oleh media apapun. Teruslah mengasah dan menajamkan kompetensinya secara berkelanjutan melalui kegiatan positif, demi kualitas pendidikan.


Penulis: Dosen, Guru Besar Fakuktas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta, Direktur Pendidikan Yayasan Syarif Hidayatullah Jakartarajamedia

Komentar:
BERITA LAINNYA